Dari Chaos ke Disensus: Satu Dekade Makassar Biennale
Irfan Palippui (Dosen UNIFA, Direktur Makassar Biennale)
Bagaimana cara mengukur kemajuan sebuah kota atau kawasan? Selama satu dekade, Makassar Biennale mengajarkan kita bahwa jawabannya tidak selalu terletak pada banyaknya gedung megah, melainkan pada getaran gagasan dan praktik artistiknya.
Istilah "ukuran" di sini tidaklah sama dengan menakar volume beton, baja, atau tinggi bangunan, melainkan sebuah upaya melacak jejak-jejak yang ditinggalkan oleh peristiwa seni dua tahunan ini. Dalam kerangka inilah, seni rupa pada perhelatan tersebut diletakkan sebagai sebuah "seismograf" yang merekam vibrasi peristiwa—getaran zaman ketika ia dirancang, dikerjakan, dan dihelat.
Jika diamati dari setiap edisi, kita dapat melacak bagaimana perhelatan ini membentuk sebuah cara berpikir yang khas—cara berpikir yang menjadikan kesadaran sejarah, keberanian mendefinisikan diri, dan kedewasaan dalam berpolemik sebagai landasan untuk menakar potensi kemajuan. Pada dasarnya, perhelatan ini adalah siasat untuk menampakkan yang tak terlihat dan menyuarakan yang bungkam, lalu mengubahnya menjadi tolok ukur yang bisa dibaca. Tulisan ini adalah upaya membaca tolok ukur tersebut, menengok yang tak terlihat, dari jejak pertama hingga janji seni sebagai disensus pada Revival 2025.
2015: Menanam rimpang dalam chaos. Jejak pertama yang diletakkan pada Makassar Biennale 2015 adalah sebuah momen krusial: sebuah 'tubrukan' atau 'chaos' yang disengaja sebelum menentukan arah. Ibarat berencana menanam "rimpang" di mana keputusannya adalah bertindak lebih dulu—cari lahan tanam—baru mengevaluasi kemudian. Jejak mentalitas ini terekam jelas pada tema Trajectory, yang dieksplorasi dalam karya para seniman.
Agustan dan kawan-kawan, misalnya, bermain-main di lintasan untuk menyelisik ke masa depan. Kemudian, tiba-tiba di lintasan tertentu kita bertemu dengan karya Kahar Wahid dan menemukan sapuan kuas modernis dalam ingatan yang nyaris hilang.
Dengan demikian, perhelatan perdana ini menegaskan adanya kemungkinan wilayah baru dengan pesan yang kuat: masa lalu harus selesai dengan cara dikenali dan dirawat, untuk kemudian dilampaui. Kesadaran itulah yang tertanam sejak awal.
2017: Merestorasi “terumbu karang”. Dua tahun kemudian, edisi Maritim (2017) tidak lagi sekadar ide menanam "rimpang" seperti pada 2015, tetapi mengambil sebuah jalan restoratif yang dilambangkan dengan "terumbu karang" (ini istilah dari saya!). Dua alegori ini—menanam dan merestorasi—menjadi cara kita memeriksa apakah kesadaran yang lahir pada 2015 berlanjut.
Pilihan tema Maritim, meskipun tampak sangat ambisius karena dijadikan tema abadi, menandakan bahwa Makassar Biennale mulai mengenali dirinya, seolah berkata, "Aku tahu ke mana akan membawa diri." Ini adalah sebuah langkah signifikan. Biennale mulai mengakui identitas dirinya yang terbelah: "Rupanya tubuhku tubuh laut, tapi aku juga terlanjur bertani."
Respons para seniman menegaskan hal ini. Ahmad Anzul misalnya, tidak lagi hanya bermain-main pada estetika visual, tetapi mulai merambah indra penciuman. Faizal Syarif menginterupsi langsung tatapan melalui karya mural dengan nada keras pada reklamasi. Karya mereka mengusulkan agar kita memalingkan wajah dan merasakan pesisir—sebuah langkah apik untuk kembali menghadap laut.
Kepercayaan diri ini mewujud dalam praktik artistik berbasis riset yang menjadikan hamparan laut sebagai subjek. Ini adalah ajakan untuk tidak hanya menanam "rimpang", tetapi juga merasakan denyut terumbu karang. Gerakan membalikkan badan dari memunggungi laut ini menandai perluasan gagasan rizoma ke darat dan laut sekaligus. Tujuannya adalah menumbuhkan ekosistem seni yang tidak tunggal, melainkan tumbuh melalui jaringan tunas-tunas baru. Pada akhirnya, Makassar Biennale menunjukkan bahwa ia benar-benar bergerak ke masa depan, berhenti menjadi objek dan mulai menjadi subjek dari ceritanya sendiri.
2019: Desentralisasi dan kesetaraan narasi. Dalam upaya menemukan bentuk yang terus "menjadi"—sebagaimana gagasan rizoma—Makassar Biennale kembali menguji cara kerjanya. Pada edisi 2019, tema perhelatan tidak lagi terpusat, melainkan diluruhkan dan berserak ke beberapa wilayah. Strategi ini bertujuan menumbuhkan tunas-tunas baru, sekaligus memberi ruang bagi narasi-narasi yang telah lama tumbuh namun dibungkam oleh wacana "pohon tunggal" dari pusat.
Gema desentralisasi ini disambut di Bulukumba, yang menjadikan bekas penjara lama, Tarungku Toae, sebagai venue utama. Penggunaan lokasi ini bukan sekadar arsip atau partisipasi seniman setempat, melainkan sebuah alegori tentang rekonfigurasi rasa-nalar, di mana yang "pinggir" menjadi setara di ruang yang sama.
Di Tinambung, Mandar, fotografi Yusuf Wahil mengubah narasi. Ia tidak hanya mendokumentasikan kerja sunyi perempuan pengangkut air, tetapi juga meruntuhkan stigma "lemah" menjadi sebuah "kekuatan" dalam relasi kuasa patriarki.
Sementara itu di Makassar, instalasi Jenry Pasassan tentang pengungsi menjadi cermin yang menakar nurani kota pelabuhan ini, dengan mengajukan pertanyaan paradoksal: di hadapan isu kemanusiaan para pencari suaka, apakah kita menawarkan perlindungan atau justru dikuasai kekhawatiran?
Melalui cara berpikir ini, kemajuan sebuah kawasan tidak lagi diukur dari kemegahan pusatnya. Kemajuan adalah ketika semua tumbuh bersama dalam kesetaraan; saat yang sebelumnya tak tampak menjadi terlihat, dan yang dibungkam dapat bersuara atas dirinya sendiri.
Baca juga:
Dapat Anugrah Pangkat Kehormatan Jenderal TNI, Prabowo: Terimakasih Presiden Jokowi
2021: Resiliensi dalam pandemi. Gagasan rizoma—bertumbuh, menjadi, dan bertumbuh lagi—yang telah meretas batas laut/darat dan pinggir/pusat, menghadapi ujian sesungguhnya ketika pandemi datang. Tantangannya adalah ketangguhan. Melalui edisi Sekapur Sirih (2021), Makassar Biennale menunjukkan resiliensi dengan kembali memberi panggung bagi suara-suara yang selama ini tidak terdengar. Edisi ini membuktikan bahwa ide rizoma yang telah tumbuh di kawasan-kawasan tersebut adalah manifestasi dari seni sebagai kehidupan itu sendiri.
Jika karya performans Rachmat Hidayat Mustamin dan Deli Luhukay (Revisi Memori, Batu-Batu, dan Bayang-Bayang) menunjukkan bahwa "merawat hidup adalah perlawanan" dari dalam diri, maka cukilan kayu Muhlis Lugis justru memvisualisasikan serangan dari luar. Karya cukil (Persembahan Sang Dewi) ini tidak berbicara tentang ketahanan, melainkan tentang proses yang mengancamnya.
Lugis menangkap satu momen kosmik yang brutal dimana langit bergejolak, tanduk mengancam, padi sekarat, dan tikus merajalela—bersatu dalam satu gerakan yang sama. Gerakan ini hanya punya satu tujuan: merampas dan mengonsumsi. Seruan untuk menemukan kekuatan dalam pengetahuan vernakular (sebagaimana tersirat dalam karya Lugis di tengah ancaman kehancuran) menjadi benang merah yang merajut perjalanan Makassar Biennale. Setiap edisi dua tahunan ini laksana bab-bab buku yang merekam lompatan pemikiran serta praktik artistik dalam merespons zaman.
2023: Dialog selatan-selatan dan kematangan metode. Perjalanan tersebut mencapai tonggak penting pada 2023 dengan dua gerakan simultan: konsolidasi ke panggung global dan pematangan metode dari dalam. Di satu sisi, kehadiran seniman Thania Petersen dari Afrika Selatan yang menginterogasi warisan kolonialisme berhasil menciptakan poros dialog Selatan-Selatan—sebuah penolakan tegas untuk menjadi pinggiran bagi Barat.
Di sisi lain, keterlibatan Moelyono, sang perintis seni partisipatoris Indonesia, menjadi penanda kematangan metode kerja biennale itu sendiri. Pada saat yang sama, lahirnya kolektif lokal seperti Kebun Tetangga menjadi bukti paling sahih bahwa rimpang yang ditanam sejak 2015 tidak hanya bertahan, tetapi juga telah tumbuh subur dan mandiri.
2025: Revival dan Janji Disensus. Nah, bagaimana dengan Revival (2025)? Setelah berbagai pencapaian, tantangan terbesarnya justru datang dari dalam. Di tengah kesuksesan membangun ekosistem dan memperluas narasi, muncul pertanyaan kritis: apakah harmoni yang tercipta benar-benar inklusif, atau justru menyembunyikan ketegangan yang perlu disuarakan?
Secara sadar, Revival akan menginterupsi tatanan yang selama ini menentukan siapa yang layak terlihat, suara siapa yang patut terdengar, dan gagasan mana yang dianggap penting. Merespons kritik terhadap konsensus internal yang mungkin terlalu nyaman, edisi ini tidak lagi hanya menyuarakan yang sunyi di luar, tetapi secara radikal memberi ruang bagi disensus—perbedaan pendapat yang produktif—di dalam untuk menjadi terlihat dan terdengar.
Praktik artistik menjadi alat untuk membongkar konsensus yang mapan. Disensus di sini bukan sekadar perbedaan pendapat biasa, melainkan redistribusi ruang dan suara yang mempertanyakan siapa yang berhak berbicara dan didengar dalam tatanan yang ada. Mungkin inilah jalan untuk menempatkan ukuran tertinggi dari perjalanan Makassar Biennale: bukan lagi "harmoni" yang semu, melainkan kemampuan untuk secara aktif menata ulang siapa saja yang berhak tampil dan bersuara dalam panggung bersama.
Revival, dengan demikian, adalah sebuah kebangkitan yang tak lagi naif—kebangkitan yang berani menghadapi ketegangan internal sebagai bagian dari proses pendewasaan.
Menutup dekade pertama.Dari tubrukan perdana hingga disensus yang dijanjikan Revival, Makassar Biennale telah membuktikan bahwa kemajuan tidak diukur dari ketinggian gedung, melainkan dari kedalaman dialog dan keberanian mempertanyakan konsensus. Rimpang yang ditanam satu dekade lalu kini telah menjadi hutan rizomatik—tumbuh ke segala arah, menembus batas laut-darat, pusat-pinggir, harmoni-konflik.
Seismograf seni yang terus merekam getaran zaman ini menunjukkan bahwa kemajuan itu terletak pada kemampuan sebuah kawasan untuk terus mempertanyakan dirinya sendiri, memberi ruang bagi yang tersisih, dan berani menghadapi ketegangan sebagai bagian dari proses menjadi. Pertanyaannya kini: ke mana hutan ini akan tumbuh di dekade kedua?
Special Region of Pattallassang, 03/10/2025
Note:
Ide "rimpang" mengambil konsep rizoma dari Deleuze, yaitu gagasan untuk tumbuh menyebar ke segala arah tanpa ada pusat, bukan seperti pohon yang punya satu batang utama. Kemudian, ide "terumbu karang" menunjukkan bagaimana jaringan yang sudah menyebar itu bisa tumbuh bersama dan saling menguatkan menjadi sebuah ekosistem. Jadi, keduanya adalah cara untuk terus berkembang dengan menciptakan banyak kemungkinan baru dan melepaskan diri dari satu aturan yang terpusat.

Comments (0)
There are no comments yet