Sitti Nurbaya: Ketika Cinta Bertabrakan dengan Adat—Cermin Sosial Zaman Kolonial

Redaksi - budaya
29 October 2025 21:27
"Ketika hati bertaut, adat dan kuasa sering kali memutuskan tali nasibnya"

Sudarni (Mahasiswa Prodi. PBSD, FBS UNM/Member of Parangtambung Literature Clinic)

Cinta yang tulus sering kali terhempas oleh realitas sosial—inilah yang terpampang jelas dalam novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Di balik kisah percintaan tragis antara Sitti dan Samsul, tersembunyi potret mendalam masyarakat Minangkabau pada masa kolonial: adat yang mengikat, nilai-nilai kolektif yang menuntut pengorbanan individu, dan tantangan ekonomi yang menghalangi pilihan pribadi.

Dengan demikian, novel ini bukan sekadar cerita romantis, melainkan cermin sosial zaman kolonial yang menampilkan ketegangan antara tradisi dan modernitas, antara kehendak pribadi dan tuntutan masyarakat. "Ketika hati bertaut, adat dan kuasa sering kali memutuskan tali nasibnya"—kalimat ini menyentuh inti tragedi novel: sebuah cerita yang melampaui sekadar romansa, tetapi merupakan lukisan sosial suatu era.

Melalui konflik tokoh muda yang penuh cinta menghadapi struktur sosial yang keras—adat dan kondisi ekonomi berwarna pengaruh kolonial—pembaca memperoleh kunci untuk membaca novel secara komprehensif. Sitti Nurbaya berfungsi sebagai cermin sosial zaman kolonial karena melalui konflik personal tokoh, baik perjodohan paksa, utang, maupun perantauan, novel merekam dinamika kekuasaan, nilai-nilai adat dan agama, serta tekanan ekonomi yang membentuk kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa itu.

Adat Minangkabau berperan sebagai kerangka norma yang mengatur keputusan keluarga dan komunitas, sehingga pilihan pribadi seringkali diutamakan demi kepentingan kolektif. Bagi masyarakat tradisional Minangkabau, adat bukan sekadar kebiasaan, melainkan sistem nilai yang mengikat—mencakup soal pernikahan, kehormatan keluarga, dan tata hubungan sosial. Dengan kewenangan kuat tersebut, keluarga besar dan pemuka adat menentukan pasangan hidup individu demi menjaga nama baik dan memulihkan keseimbangan sosial-ekonomi.

Dinamika ini jelas terlihat dalam cerita Sitti Nurbaya, di mana tokoh utama dipaksa menikah dengan pria yang tidak dicintainya karena kebutuhan menutup utang keluarga dan tekanan mempertahankan "kehormatan". Keputusan ini bukan tanggung jawab dua insan, melainkan produk mekanisme kolektif masyarakat Minangkabau. Tindakan keluarga ini menunjukkan bahwa adat dapat menjadi alat legitimasi keputusan yang merugikan individu; berlakunya adat memperlihatkan prioritas nilai kolektif atas hak personal, yang pada gilirannya membentuk pembacaan novel sebagai kritik sosial terhadap praktik adat yang kaku. Selain adat, struktur kuasa lokal memperkuat dinamika penindasan tersebut.

Kuasa lokal Datuk Meringgih, yang bersifat ekonomis dan politis, memainkan peran sentral dalam membatasi ruang kebebasan individu. Di bawah pengaruh kolonial, posisi Datuk Meringgih menguat karena para pemuka atau bangsawan memiliki akses pada sumber daya dan perlindungan, sehingga mereka mampu mempengaruhi keputusan sosial demi keuntungan pribadi atau peningkatan status.

Dalam novel, tokoh antagonis Datuk Meringgih mengambil keuntungan dari situasi ekonomi keluarga Sitti Nurbaya dan menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendak, sementara Sitti yang tertekan memilih mengalah demi keselamatan ekonomi keluarga. Hal ini menjelaskan mengapa konflik cinta individual berakhir tragis—bukan hanya karena hadapan norma, melainkan karena lawan yang dihadapi adalah struktur kuasa berskala sosial. Situasi ini juga berkaitan erat dengan kondisi ekonomi yang dipengaruhi oleh era kolonial.

Tekanan ekonomi dan peluang perantauan akibat modernisasi kolonial membentuk pilihan hidup generasi muda dan memperlebar jurang antara tradisi dan perubahan. Masa kolonial membawa transformasi ekonomi—perdagangan, utang, dan mobilitas ke kota-kota besar—yang membuka jalan perantauan bagi pemuda Minangkabau untuk mencari penghidupan. Namun transformasi ini sekaligus menciptakan ketidakpastian dan konflik identitas antara nilai tradisional dan tuntutan modern. Samsul Bahri memilih pergi merantau ke kota untuk mencari nafkah dan menghadapi struktur kolonial; perantauan ini memberi harapan namun menimbulkan jarak emosional serta ketidakmampuan mengatasi tekanan sosial setempat.

Baca juga:
Kejar Pajak Tak Pakai Gaya Preman, Purbaya : Enggak Gedor Rumah Orang Jam 5 Pagi

Novel ini merekam paradoks modernitas: perantauan menawarkan jalan keluar ekonomi tetapi tidak selalu mampu menantang tegaknya struktur adat. Akibatnya, tragedi personal menjadi refleksi kondisi sosial-ekonomi yang lebih luas, menunjukkan bahwa modernitas tidak otomatis menyelesaikan ketidakadilan tradisional. Selain faktor struktur, novel Marah Rusli juga mengandung cerminan nilai-nilai religius dan psikologi tokoh yang memperkaya interpretasi sosialnya.

Interaksi antara nilai agama, pendidikan, dan keadaan psikologis tokoh memperkaya dimensi kritik sosial novel. Masyarakat Minangkabau menggabungkan adat dengan nilai-nilai Islam; pengaruh agama menjadi penengah moral, sementara akses pendidikan (atau ketiadaannya) menentukan kapasitas tokoh untuk bertindak.

Sitti Nurbaya, tokoh perempuan yang pasif, menerima keputusan keluarga tanpa perlawanan, sedangkan Samsul Bahri, tokoh pria yang merantau, mengalami pergulatan batin antara balas dendam, kehormatan, dan cinta. Meskipun pendidikan atau pengalaman di kota mempengaruhi pandangan mereka, seringkali hal itu tidak cukup untuk merombak struktur di kampung halaman mereka.

Dengan memasukkan dimensi religius dan psikologis, novel Marah Rusli tidak hanya menuding adat semata, melainkan menunjukkan bagaimana individu dikondisikan oleh jaringan nilai yang kompleks. Pendekatan ini memperkuat pembacaan ekstrinsik yang menempatkan tokoh sebagai produk kondisi sosial-historis mereka.

Sitti Nurbaya memang layak disebut cermin sosial zaman kolonial karena melalui tragedi cinta pribadinya, novel merekam dan mengkritik jaringan adat, kuasa, dan kondisi ekonomi yang membentuk kehidupan masyarakat Minangkabau.

Esai ini menegaskan bahwa: pertama, adat menempatkan kolektivitas di atas hak personal; kedua, kekuasaan lokal menginstrumentalisasi adat demi kepentingan pribadi; ketiga, tekanan ekonomi dan perantauan akibat modernitas kolonial menciptakan konflik baru; dan keempat, nilai agama dan keadaan psikologis tokoh memantulkan kerumitan yang dihasilkan oleh banyak faktor saling berhubungan.

Membaca Sitti Nurbaya sebagai rekaman sosial-historis mengundang kita untuk memandang karya sastra tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai sumber wawasan tentang bagaimana masyarakat bereaksi terhadap perubahan zaman. Kesadaran ini penting bagi pembaca modern untuk memahami bahwa persoalan kebebasan personal, gender, dan ketimpangan kuasa bukan sekadar warisan masa lalu—persoalan-persoalan ini terus relevan dan menuntut refleksi serta tindakan di masa kini.

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment