Logistik adalah Raja: Mengapa Manajemen Matang Menjadi Nyawa Sebuah Pameran

Redaksi - News
27 November 2025 01:17
Performance Art "Jejak Waktu dalam Sarung", Karya Asia Ramli. MB ReVIval 2025.

Makassar — Dalam  diskusi kelas Penulisan dan Kuratorial yang dibawakan kurator seni rupa Arham Rahman dari Yogyakarta membongkar realitas keras di balik kesuksesan sebuah pameran seni. Ternyata, tidak peduli sebaik apapun konsep kurasi atau seberapa berkualitas karya yang ditampilkan, semuanya akan jatuh tanpa perencanaan logistik yang matang.

"Sekitar 70 persen anggaran pameran akan terhabis untuk logistik," ungkap Arham dengan nada serius. Pesan ini menjadi wawasan penting bagi komunitas seni di daerah yang sering menghadapi keterbatasan anggaran dan sumber daya.

Ironis memang. Ketika berbicara tentang kesuksesan sebuah pameran seni, perhatian publik biasanya tertuju pada aspek artistik: konsep kurasi yang brilian, seniman-seniman ternama, atau karya-karya yang spektakuler. Namun di balik layar, logistik adalah pemain sejati yang menentukan apakah pameran akan berjalan lancar atau berantakan.

"Banyak kurator yang terlalu fokus pada konsep, tapi lupa mempertimbangkan logistik. Hasilnya, pameran menjadi gagal meskipun konsepnya bagus," jelas Arham. Pengalaman Arham bekerja di Galeri Lorong Yogyakarta menjadi bukti nyata betapa beratnya tantangan logistik.

Ketika bekerja di Galeri Lorong, Arham dan timnya hanya mampu menyelenggarakan empat pameran dalam setahun. "Itu sudah ngos-ngosan," kenangnya. Sebuah angka yang mungkin terasa kecil, namun mencerminkan beratnya beban logistik yang harus ditanggung setiap penyelenggara pameran.

Logistik dalam sebuah pameran seni bukan sekadar menyangkut transportasi karya atau pengaturan display. Cakupannya jauh lebih luas dan kompleks.

Karya seni, terutama yang berukuran besar atau bernilai tinggi, memerlukan penanganan khusus. Asuransi, pengemasan, kendaraan berpendingin, dan handling profesional semuanya memerlukan biaya signifikan.

Renovasi tempat pameran, instalasi lighting, pengaturan suhu dan kelembaban untuk karya yang sensitif, serta persiapan fasilitas publik semuanya termasuk dalam biaya logistik.

Ketika mengundang seniman dari berbagai daerah, biaya transportasi, akomodasi hotel, dan per diem mereka menjadi beban logistik yang tidak ringan.

Upah kurator, manajer pameran, tim teknis, security, dan sukarelawan semuanya harus diperhitungkan. Arham menekankan bahwa tidak boleh ada pihak yang bekerja tanpa kompensasi yang layak.

Mengelola komunikasi dengan seniman, kolektor, media, sponsor, dan berbagai stakeholder lainnya memerlukan waktu dan energi yang besar.

Arham mengungkapkan bahwa bahkan proyek pameran berskala besar terkadang juga mengalami masalah logistik. Dia mengutip contoh dokumenta (sebuah ajang pameran seni bergengsi di tingkat global) yang pernah menghadapi tantangan serius dalam hal logistik.

"Dokumenta baru-baru ini mengalami kesulitan karena tidak mempertimbangkan aspek logistik dengan matang. Mereka terlalu ambisius dengan konsep tanpa melihat kemampuan nyata untuk mengeksekusinya," kata Arham.

Pembelajaran dari proyek-proyek besar ini seharusnya menjadi peringatan bagi penyelenggara pameran lokal: jangan terjebak pada obsesi akan ide besar yang belum tentu bisa direalisasikan.

Baca juga:
Irjen Karyoto dan Frederik Kalalembang Bahas Sinergi Tangkal Kejahatan Digital

Bagi komunitas seni di Makassar dan daerah lain di nusantara, wawasan tentang pentingnya logistik ini sangat relevan. Keterbatasan anggaran yang biasa dihadapi penyelenggara seni lokal membuat perencanaan logistik menjadi lebih krusial lagi.

"Jangan memaksakan ide besar kalau logistiknya tidak seberapa. Itu realistis kok. Kita bisa membuat pameran yang sederhana namun tetap bermakna," saran Arham. Pesan ini adalah pembebasan bagi banyak organizer seni lokal yang sering merasa tertekan untuk menghadirkan pameran bergengsi dengan anggaran minim.

Makassar Biennale, yang telah berjalan konsisten selama beberapa tahun, adalah bukti bahwa pameran seni bisa sukses di daerah dengan mempertimbangkan logistik secara matang. Sayangnya, menurut Arham, tidak semua penyelenggara pameran memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya aspek ini.

Ada dimensi etis yang penting dalam diskusi tentang logistik. Arham menekankan bahwa ketika perencanaan logistik tidak matang, penderitaan akan dialami oleh pihak-pihak yang berada di level bawah hierarki penyelenggaraan.

"Kalau logistik tidak terencana dengan baik, yang tersiksa adalah sukarelawan, asisten, dan tim teknis. Mereka yang akan berdarah-darah di lapangan," tutur Arham. Fenomena ini sering terjadi di industri seni kreatif di mana sebagian besar pekerja tidak mendapatkan kompensasi yang layak.

Arham juga mengkritik praktik yang ia sebut sebagai "glorifikasi gotong-royong". Ketika ada dana yang tersedia, mengajak tim bekerja tanpa bayaran dengan alasan "gotong-royong" atau "kerja komunitas" menjadi tidak etis.

"Kalau ada yang mengambil untung dari pameran, semua orang yang terlibat harus mendapat kompensasi yang layak. Tidak boleh ada yang dieksploitasi," tegasnya.

Untuk memastikan logistik berjalan lancar, Arham merekomendasikan beberapa strategi:

  1. Tidak perlu memaksa menghadirkan pameran besar. Pameran kecil yang terkelola dengan baik lebih baik daripada pameran besar yang berantakan.
  2. Jika anggaran terbatas, lebih baik konsep sederhana yang dapat dieksekusi dengan sempurna daripada konsep kompleks yang hanya sebagian bisa diwujudkan.
  3. Buat spreadsheet lengkap untuk setiap komponen logistik. Jangan ada yang terlewat dalam perhitungan.
  4. Investasi dalam hiring manajer pameran atau exhibition manager profesional akan menghemat banyak masalah di kemudian hari.
  5. Bangun hubungan baik dengan vendor, transporter, dan penyedia layanan lainnya. Hubungan jangka panjang ini akan memberikan fleksibilitas dan harga yang lebih baik di masa mendatang.

Arham berpesan kepada seluruh komunitas seni, terutama di daerah: "Jangan malu untuk mengakui keterbatasan. Bekerja dengan apa yang ada, rencanakan dengan detail, dan hargai setiap orang yang terlibat. Itu adalah kunci kesuksesan."

Ia juga mengingatkan bahwa produksi pengetahuan dalam pameran seni tidak hanya bergantung pada skala atau grandeur pameran. "Pameran kecil yang dikelola dengan baik bisa menghasilkan wacana dan pembelajaran yang lebih kaya dibanding pameran besar yang kacau," katanya.

Dalam era di mana anggaran untuk seni terus terbatas dan persaingan untuk mendapat funding semakin ketat, pesan tentang pentingnya logistik menjadi lebih relevan daripada sebelumnya. Logistik memang adalah raja, dan mengakui hal ini adalah langkah pertama menuju penyelenggaraan pameran seni yang berkelanjutan dan etis di daerah.

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment