Hanafi Belum Mati: Wajah 'Salah Asuhan' di Era Modern

Redaksi - budaya
30 October 2025 12:51
merantau ke kota dengan bekal keyakinan akan hal-hal baik yang diperoleh di kampung. Akan tetapi ketika orang tersebut kembali ke tanah kelahirannya, berubahlah segala laku dan perawakannya.

 

Zulhijjah (Member of Parangtambung Literature Clinic)

Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1928. Secara umum, novel ini mengangkat tema yang tidak jauh berbeda dari karya-karya yang lahir di angkatannya: romantisme, adat istiadat, kolonial, modernitas, dan benturan antara Timur dan Barat. Berkat kepiawaiannya, Abdoel Moeis mampu menghantarkan pembaca memahami dan melihat lebih dekat akan apa yang hendak disampaikannya. Di Usianya–novel ini–yang sebentar lagi menginjak satu abad, novel ini masih menjadi bacaan yang relevan dengan kehidupan sekarang.

Sebelum lebih jauh, izinkan saya merawikan kisah yang termaktub dalam novel ini. Cerita dimulai dengan mengisahkan dua orang sahabat karib: Hanafi seorang bumiputera dan Corrie gadis Indo-Belanda. Keduanya–merupakan tokoh utama dalam novel ini–berteman sedari masih kecil sampai sekarang. Suka duka  telah dilalui bersama, bercerita bersama, dan bermain tenis bersama. Kebersamaan yang rutin itulah yang menimbulkan perasaan saling mencintai di antara keduanya. 

Hubungan Hanafi dan Corrie kita ketahui dan dapat kita prediksi setelah membaca kutipan dialog Ayah Corrie berikut:

“Kawin campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit "kesombongan bangsa". Sekalian orang, masing-masing dengan perasaannya sendiri, menyalahi akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa yang lain, meskipun kedua orang menjadi suami-istri itu sangat berkasih-kasihan.” (hal.16-17).

Yah, meski di pertengahan cerita digambarkan mereka dapat melangsungkan pernikahan, namun tak adalah kebahagiaan yang dirasakan keduanya selama dua tahun hubungan mereka. Hal itu disebabkan oleh karena pernikahan campuran yang telah menghinakan mereka. Semua kerabat menjauh sebab kehinaan tersebut. Bercerai pulalah mereka pada akhirnya.

Garis besar cerita dalam novel ini memang membahas hubungan Hanafi dengan Corrie, tapi bukan berarti tidak ada bahasan lain. Melalui tokoh-tokoh pendukung yang lain seperti teman sebaya Hanafi dan Corrie–bangsa Eropa memberikan kita gambaran tentang dalamnya jurang perbedaan antara bangsa Barat dan Timur. Abdoel Moeis menggambarkan Ibu Hanafi sebagai sesosok orang tua yang tinggal tak bersuami itu hidup dengan kesabaran dan keyakinannya terhadap adat lama yang turun temurun dari kalangannya. Keyakinan serupa–terhadap adat lama–terdapat pula pada tokoh Rapiah–istri pertama Hanafi yang olehnya dikatakan “istri pemberian Ibu”. Perihal adat lama–yang oleh Ibu, Rapiah, dan sebangsanya masih dipegangnya dengan erat–itulah yang menjadikan Hanafi merasa tidak sepadan dengan mereka. 

Hanafi dengan kesadaran penuh menyadari banyak perbedaan antara dirinya dengan orang-orang sebangsanya. Tanpa terkecuali Ibunya. Segala pembelajaran tentang keBelandaan yang diperolehnya sejak kecil membuatnya memiliki cara berpikir yang jauh daripada cara-cara tanah kelahirannya. Mulai dari cara Ia berlaku, bertutur, berpakaian, hingga pada ranah perabotan rumah pun harus keBelanda-belandaan. Hanafi dengan kata lain hendak menjadikan adat Belanda itu sebagai cara dan jalan hidupnya dan meninggalkan adat lama yang menurutnya tidak relevan dan “menjijikan.”

"Itulah salahnya, Ibu, bangsa kita dari kampung; tidak suka menurutkan putaran zaman. Lebih suka duduk rungkuh dan duduk mengukul saja sepanjang hari. Tidak ubah dengan kerbau bangsa kita, Bu! Dan segala sirih menyirih itu.. brrrr!" (pada sebuah percakapan dengan Ibunya/hal. 28-29).

Baca juga:
Ini Respon Jokowi Soal Pemilu yang Dinilai Banyak Kecurangan

Semakin hari semakin bertambah sifat ke-Belandaan Hanafi dibarengi dengan kebencian kepada adat lama–diolok-oloknya sekaligus. Hal demikian tergambar pada saat Hanafi akan menikah dengan Rapiah yang menolak menggunakan adat Minangkabau dan mementingkan keinginannya menggunakan cara Eropa. 

“Ia berkata “kaum muda". Pakaian mempelai secara yang masih dilazimkan sekarang di negerinya, yaitu pakaian secara zaman dahulu, disebutkannya "anak komidi Stambul.” (hal. 85).

Sifat Hanafi sedemikian itu membuatnya dibenci dan dijauhi oleh kawannya. Sedap pula karena sifat itu dilengkapi dengan sifat patriarki-intoleran yang ditunjukkan ketika berhadapan dengan istrinya Rapiah yang–sedari awal tidak dicintainya–sama sekali tidak mendapat kasih sedikitpun. Rapiah dijadikannya sebagai babu saja baginya. Rapiah mesti menyediakan segala keperluan Hanafi, menuruti semua keinginnya, patuh dan tunduk pada perintahnya. 

Jelas sifat Hanafi itu tergambar manakala Ia olok-olok Rapiah di hadapan para hadirin tamu yang kala itu datang berkunjung ke rumahnya: “Sambil merentakkan anak itu ke tangan ibunya, dikatainyalah istrinya di muka kawan-kawannya dengan segala nista dan penghinaan,” (hal. 101). Perbuatan yang serupa itu tidaklah menjadikan Hanafi bersalah, Ia justru memperkuat sifat kejinya itu ketika berhadapan dengan Ibunya:

"Oh, Ibu, jika Ibu hendak menyesal, janganlah aku Ibu sesali, baiklah Ibu menyesali diri sendiri. Siapakah yang memberikan istri serupa itu kepadaku?" (hal.104).

Hal serupa dapat kita lihat pada hubungan Hanafi dengan istrinya yang kedua, Corrie. Tanpa alasan yang jelas–hanya sebuah praduga saja–Ia telah menuduh ini itu kepada istrinya.

"Aku menuduh engkau berlaku hina di dalam rumahku ini!" demikian kata Hanafi dengan suara keras, sambil berdiri di muka Corrie yang masih duduk menggigit-gigit serbet. "Tidak usah bertanyakan ini dan itu, bukti sudah sampai cukup!" (hal. 211).

Tokoh Hanafi dalam novel ini seakan menjadi gambaran anak muda masa kini. Yah, dewasa ini kita dengan sangat mudah menemukan sosok “Hanafi” dalam keseharian. Anda barangkali pernah menemui seorang–keluarga, tetangga, buah hati, atau bahkan Anda sendiri–di kampung yang melanjutkan studi atau merantau ke kota dengan bekal keyakinan akan hal-hal baik yang diperoleh di kampung. Akan tetapi ketika orang tersebut kembali ke tanah kelahirannya, berubahlah segala laku dan perawakannya. Bahkan orang tersebut sudah menganut paham yang berbeda dari keluarganya bahkan pun orang tuanya. Tindakan dan perkataannya sangat jauh berbeda dari dirinya yang semula.

Orang-orang inilah yang saya sebut sepadan dengan Hanafi–yang mengalami “kaget budaya”. Mereka meninggalkan budaya lama dan beralih ke budaya baru yang–bagi mereka–lebih baik dan relevan. Hanafi pada akhirnya belum mati. Ia masih terus hidup. Di kota, kampus, kantor, cafe, bahkan di sosial media. Ia menjelma menjadi teman se-tonkrongan–semoga tidak menjadi kita.

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment